09.15 tepat kereta Ranggajati melaju dengan kecepatannya yang terus menuju. Sekali berhenti mengangkut manusia atau menurunkan manusia sesuai arah tujuan yang telah dikehendaki.
Ranggajati terus melaju meninggalakan gubeng baru, dan menyapa stasiun jogja dan solo yang selalu punya cerita baru bagi setiap pengunjung kecuali aku yang belum pernah kesitu.
17.46 Ranggajati pun tiba di Purwoketo dengan disambut fajar yang tersibak malam menjadikan langit bewarna jingga. Ah ini namanya senja! Dia sangat tenang dengan kumandang adzan yang bergema menuntun umat muslim menghadap Maha Penguasa untuk beribadah.
Purwokerto, belum juga kota katanya. Tapi hotel, mall, dan universitas sudah berdiri menjulang dan meninggi. Ah tapi apa pentingnya status daerah dinamakan kota? Yang ada malah membuat anak mudanya semakin sok sok an, meninggi dan menganggap masyarakat desa adalah kaum kaum tua yang tertinggal. Yang penting masyarakat makmur, pendidikan terpenuhi dan menghasilkan output yang terdidik, bukan?
Purwokerto, cukup tenang untuk menjadi saksi sebagai tempat pertama kalinya aku melewati batas yang tidak pernah ku rencanakan sebelumnya.
Purwokerto, membuat aku mengambil arti mengenai hidup untuk selalu berpikir positif tanpa limit. Satu hal sebelum keberangkatan terjadi, pada waktu itu mampu menyihir pikiran untuk selalu berpikir negatif padahal sebenarnya masih tentatif. Sebal, kesal meliputi hati menjadikan amarah yang bebal tapi tetap saja harus berusaha sabar dan terima meskipun sudah merasa bar bar.
Hari terus berlalu, apa yang dipikirkan telah jatuh tepat waktu. Dan betapa malunya aku terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa karena sejenak sempat memelihara pikiran buruk di dalam syaraf syaraf yang telah Dia anugerahkan kepadaku secara cuma cuma. Segala kemungkinan buruk yang tentatif itu, tertepis begitu seja dengan kepastian di detik itu juga.
Karena seburuk-buruknya perilaku tidak tahu malu adalah suudzon kepada Tuhan yang lebih tahu akan segala sesuatu yang terbaik untukmu.