MAKALAH PENYIMPANGAN PANCASILA (ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN MASA REFORMASI)

Januari 28, 2017

PENYIMPANGAN PANCASILA
 (ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN
MASA REFORMASI)
             

Anggota kelompok :
Nurul Lali Hidayati (081611233040)
Mata’ul Khaqiqi (081611233020)
Devi Ariyana (081611233028)
Awidin Novictor (081611233031)


Dosen Pembimbing     : Drs. Ajar Triharso, M.S

                       

FAKULTAS SAINS dan TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2016



PENYIMPANGAN ORDE LAMA

Sistem pemerintahan Indonesia pada masa orde lama yaitu periode pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1945 sampai tahun 1968. Pada orde ini, sistem pemerintahan Indonesia mengalami beberapa peralihan. Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial, parlementer, demokrasi liberal dan sistem pemerintantahan demokrasi terpimpim. Pada masa pemerintahan pasca kemerdekaan (1945-1950) ini, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari parlementer menjadi presidensil. Dimana dalam sistem pemerintahan presidensil, memiliki fungsi ganda yakni sebgai badan eksekutif dan merangkap sebagai badan legislatif. Dasar hukum pelaksanaan demokrasi ini ditetapkan dalam sidang umum ke-3 MPRS tahun 1965, dengan ketetapan MPRS No.VIII/MPRS/1965. Pada kekuasaan presidensil ini, kekuasaan presiden menjadi tidak terbatas, maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan dalam pengambilan keputusan di pemerintahan Indonesia. Berikut ini bukti kegagalan pada Sistem Pemerintahan Orde lama,
1.      Pembubaran DPR hasil pemilu 1955 oleh Presiden
Pada tahun 1960 presiden membubarkan hasil pemilu karena DPR menolak Rencana Anggaran Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah. Akhirnya Presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Seluruh anggotan DPRGR ini ditunjuk oleh Presiden mewakili golongan masing-masing. Anggota DPR-GR ini dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Dalam upacara pelantikan tersebut, Soekarno menyatakan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Pada upacara pelantikan wakil-wakil DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, Presiden Soekarno menjelaskan kedudukan DPR-GR. DPR-GR adalah pembantu presiden/mandataris MPRS dan memberi sumbangan tenaga kepada presiden untuk melakukan segala sesuatu yang ditetapkan oleh MPRS. DPR yang demikian, pada hakikatnya adalah DPR yang hanya mengiyakan saja sehingga tidak menjadi soko guru negara hukum dan demokarasi yang sehat.
Oleh karena itu, pembubaran DPR hasil pemilu 1955 merupakan menyelewengan karena dalam penjelasan UUD ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk membubarkan DPR.
2.      MPRS mengangkat ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup
Pada tahun 1957, Presiden Soekarno mencanangkan kebijakan politik pembebasan Irian Barat setelah selalu gagal dalam upaya diplomatik di sidang PBB. Kebijakan politik itu sangat menentukan arah negara dan bangsa Indonesia ke depan sebab Indonesia telah bersikap lebih tegas terhadap Belanda karena masalah Irian Barat yang digantung dalam rapat KMB. Indonesia-pun membatalkan keputusan KMB, bahkan Indonesia-pun berani menasionalkan perusahaan-perusahaan Belanda di Indoonesia.
Langkah politik Soekarni itu memperoleh dukungan dari seluruh eksponen bangsa, termasuk PKI yang merasa sejalan dengan strategi politiknya terhadap kapitalis dan imperialisme internasional. Tetapi PKI harus menelan rasa kekecewaan karena Soekarno lebih menitik beratkan pada operasi militer, sehingga Presiden lebih sering berhubungan dengan pimpinan TNI. Sehingga sejak saat itu PKI berupaya untuk merebut kekuasaan Indonesia dan mengikuti pemilu. Karena banyak pihak yang cemas bila PKI memenangi pemilu maka, muncul lah ketetapan MPRS No. II/MPRS/1963 tanggal 18 Mei 1963 tentang pengangakat Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Namun, kesepakatan ini banyak memberi dampak negatif maka dicabutlah Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1963 oleh MPRS, PKI dinyatakan sebagi organisasi terlarang dan MPRS menolak laporan pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang berjul Nawaksara dan Presden Soekarno dikenai tahanan kota oleh Kopkamtib.
3.      Penyimpangan ideologis, konsepsi Pancasila berubah menjadi NASAKOM (nasionalis, agama, komunis)
Pada masa demokrasi terpimping pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis). Tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa. Selain NASAKOM pemerintah juga membentuk RESOPIM (Revolusi, Sosialisme Indonesia dan Pimpinan Nasional. RESOPIM untuk memperkuat kedudukan Presiden Soekarno. Ajaran RESOPIM diumumkan pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI ke-16
4.      Kaburnya politik luar negeri yang bebas aktif menjadi "politik poros-porosan" (mengakibatkan indonesia keluar dari PBB)
Lanadasan operasional dari politik luar negeri indonesia yang bebas aktif sebagaian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno, yang tertuang pada Maklumat Politik pemerintah tanggal 1 November 1945, yang diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut:
1.      Politik damain dan hidup berdampingan secara damai;
2.      politik tidak campur tangan dalam negeri negara lain;
3.      politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara dibidang ekonomi, politk dan lain-lain;
4.      politik berdasarkan piangam PBB
Politik di dunia dibagi menjadi 2 bagian yaitu Oldefo dan Nefo. NEFO (New Emerging Forces) merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner yang anti imperialisme dan kolonialisme sedangkan OLDEFO (Old Establishes Forces) merupakan kekuatan lama yang telah mapan yaitu negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Untuk mewujudkan NEFO maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke negara-negara komunis.
Selain OLDEFO dan NEFO, Indonesia juga mengadakan Politik Konfrotasi Malaysia karena pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara Federasi Malaysia yang dianggap membahayakan Indonesia. Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari PBB sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Karena merasa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi NEFO di seluruh dunia makan pemerintahan Indonesia mendirikan Politik Mercusuar. Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuek yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kalangan yang terkemuka di NEFO. Proyek tersebut menghabiskan banyak biaaya dalam pencapaiannya. Perwujudan dari dari proyek-proyek tersebut diselenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces). Pendirian kompleks Olahraga Senanyang serta Monas (Monumen Nasional).
Pemeritah Indonesia juga mendirikan Politik Gerakan Non-Blok (GNB). GNB ini merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak dipengaruhi oleh Blok Barat dan Blok Timur. Selanjutnya, gerakan ini memusatkan pada kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan perang dingin. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanuasian.
           



PENYIMPANGAN ORDE BARU

Di masa Orde Baru yang paling dikenal ialah penuh dengan kediktatoran dari pemerintahan. Pemerintahan masa itu kebanyakan melakukan kebohongan- kebohongan publik untuk menutupi kelemahan dan kegagalan mereka. Pemerintah juga menghalalkan berbagai cara untuk mempertahAnkan kekuasaan mereka. Mulai dari pemenjaraan para musuh mereka sampai penghilangan nyawa pada siapa saja yang menentang kebijakan pemerintah. Banyak terjadi KKN dimana-mana, pelanggaran HAM dilegalkan, dan pembekuan demokrasi impian rakyat yang kesemua itu merupakan kejadian yang sangat memperihatinkan dalam perkembangan tatanan hidup Indonesia.
Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, atau sebagai koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin atau orde lama. Namun tujuan untuk memperbaiki tatanan pada masa lalu dan kembali pada Pancasila dan UUD 1945 hanya retorika semata agar penguasa baru saat itu Soeharto mendapat dukungan dari rakyat. Pada awal-awal pemerintahan berjalan secara wajar, tapi selanjutnya pemerintahan berjalan dengan lebih menonjolkan kediktatorannya yang tak jauh beda dengan masa Orde Lama. Orde Lama pun tak seburuk apa yang telah dilakukan waktu itu. Orde Baru merupakan masa pemerintahan paling kejam di Indonesia setelah masa kemerdekaan dengan Soeharto sebagai nahkodanya.
Satu-satunya  masa pemerintahan yang dalam sejarah Indonesia paling lama memimpin Indonesia ialah Orde Baru, yang memimpin Indonesia kurang lebih 32 tahun. Pemerintahan selama itu tentunya ada hal positif serta negatifnya. Dalam kurun waktu lama itu Orde Baru lebih banyak mencatatkan sejarah buruk dalam perjalanan Indonesia merdeka. Dari kasus KKN yang terjadi dimana-mana serta melibatkan orang-orang terdekat penguasa. Pelanggaran HAM dilakukan tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah untuk mengusut bahkan terkesan membiarkan hal tersebut terjadi berulag-ulang. Demokrasi yang di idam-idamkan rakyat ditutup dengan rapat, diganti demokrasi terpusat yang diktator.

Berikut adalah berbagai contoh penyimpangan yang terjadi di era orde baru:
1.      KKN Merajalela
KKN terjadi di  setiap lini pemerintahan. Soeharto pun sebabagai presiden RI tak berdaya melihat situasi  ini dan terkesan melegalkan KKN yang terjadi atas sepengetahuannya. Dalam berbagai kasuspun Soeharto di indikasiakn terlibat dalam kasus tersebut. Kejahatan kemanusian yang terselubung itu selalu menguntungkan anak-cucunya, kerabat dekat Soeharto, orang-orang terdekat Soeharto, dan para konglomerat yang dekat dengan sang presiden. Berikut ini beberapa paparan kasus KKN pada masa orde baru:
a.       Kasus ini diduga melibatkan orang dekat keluarga Cendana. Pada akhir 1995, CEPA Internasional berhasil memenangi tender Proyek Listrik Tanjung Jati B senilai US$ 1,77 miliar dan kemudian juga memenangi tender  Proyek Listrik Tanjung Jati C dengan cara agak akrobatik. Pada saat memenangi tender anggota konsorsiumnya adalah CEPA Hongkong dan PT International Manufacturing  Producer Association (Impa) Energy-milik pelobi ulung Djan Faridz yang dikenal dekat dengan Mbak Tutut (Siti Hadijanti Rukmana) (Rafick,2007:140). Kedekatan Djan Faridz dengan salah satu putri Soeharto dimungkinkan akan mempermudah dia memperoleh proyrek-proyek dari pemerintah.
b.      Sebuah proyek air bersih raksasa Umbulan berkapasitas 4 ribu liter/detik  yang ditenderkan sejak 1986 namun terkatung-katung hingga 10 tahun lebih karena soal tarif, akhirnya dapat diperoleh pemenangnya. Diluar dugaan konsorsium Tommy Soeharto (Hutomo Mandala Putra) - raja properti Ciputra berhasil mendapatkan proyek ini. Padahal tarif yang diajukan Rp 888/m3 dan konsensi 25 tahun, jauh diatas tawaran Grup Citra Lamtorogung Persada (CLP) yang meminta konssi 15 tahun, dengan pola BOT (Build Operete & Transfer) mengajukan harga Rp 630/m3 yang dulu ditolak. Padahal PDAM menetapkan angka Rp 618/m3, namun menurut pemerintah mengatakan secara rasional penghitungan konsorsium Tommy memang masuk akal (Rafick,2007:148). Dalam kasus ini dimungkinkan ada KKN dalam proses tendernya. Dikarenakan nilai proyek yang disepakati kedua belah pihak tidaklah rasional.
c.       Pada 1996, BUMN PT Kertas Leces mengalihkan garapannya dari memproduksi kertas koran ke produksi kertas HVS. Padahal kertas koran memiliki pangsa pasar dan pertumbuhan pasar yang jauh lebuh besar dibanding kertas HVS. Setelah Leces meninggalkan lapangan, Aspex Paper milik Bob Hasan yang notabene orang dekat Soeharto mengambil alih tempatnya, sehingga 80% kebutuhan dalam negeri akan kertas koran kemudian dipenuhi Aspex. Banyak kalangan menduga Leces sengaja mengalihkan bidang garapannya ke HVS, bila tak mau disebut dipaksa, untuk memeberi jalan kepada Aspex menguasai pasar kertas koran (Rafick,2007:153). Peran pemerintah dalam alih jenis produksi Leces dimungkinkan sangat besar. Hal ini karena Bob Hasan memeiliki hubungan baik dengan Soeharto.
d.      Penyalahgunaan Dana Reboisasi (DR) untuk kegiatan di luar reboisasi diperkirakan di atas 2 triliun. Separuh digunakan pengusaha di luar sektor kehutanan. Setengahnya lagi dipakai mendanai proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp dan non pulp, termasuk HTI trans. Semuanya berdasarkan Keppres. Dana sebanyak itu tidak semuanya berasal dari DR. Sebagian besar berasal dari bunga jasa giro. Salah satu pengeluaran dana DR diberikan sebesar Rp 250 miliar untuk PT Kiani Kertas (Pabrik Kertasn dan pulp) milik Bob Hasan (Rafick,2007:160). Bau KKN sangat terasa dalam kasus ini. Mungkin ini salah satu bagian terkecil penyelewengan keuangan negara yang dimanfaatkan oleh keluarga dan kroni-kroni Soeharto.
e.       Adanya skandal Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) tahun 1993. Yaitu dengan kredit sebesar Rp 1,3 triliun yang dikucurkan kepada seorang pengusaha bernama Eddy Tansil, adik kandung Hendra Rahadrja (pemilik Bank Harapan Sentosa yang sudah collapse). Kasus ini sangat menghebohkan karena menyeret sejumlah pejabat tinggi, termasuk Sudomo (orang kepercayaan Soeharto) yang pernah menjadi Kopkamtib (Lesmana,2009:58). Sudomo sebagai orang terdekat Soharto tidak akan mungkin terseret dalam kasus tersebut. Hal itulah ciri khas hukum ala Soeharto, orang-orang terdekatnya pasti akan aman.
Dari kasus-kasus yang telah diuraikan tadi nampak jelas bahwa masa Orde Baru sangat buruk dalam sistem pemerintahannya. Presiden Soharto nampaknya telah merestui adanya KKN tersebut. Ini dibuktikan dengan makin merajalelanya KKN dari tahun ketahun di masa Orde Baru. Walaupun ada upaya pemberantasan KKN, tapi koruptor-koruptor yang dekat dengan kekuasaan tampaknya tak pernah disentuh sama sekali.
2.      Pelanggaran HAM
Pada masa orde baru pelanggaran HAM sepertinya menjadi hal yang legal dengan enggannya pemerintah mengusut kasus-kasus yang terindikasi terjadi pelanggaran HAM yang melibatkan pemerintah. Setiap ada suatu permasalahan, pemerintah dan  ABRI dalam penyelesaianya selalu menggunakan kekerasan. Hal itu terjadi berulang-ulang dan tidak ada yang dapat menghentikannya. Hal ini diperparah dengan enggennya Presiden Soeharto menjabut UU anti-subversi yang telah di usulkan Komnas HAM.  Berikut merupakan kasu-kasus pelanggaran HAM masa Orde Baru yang masih menjadi misteri:
a.       Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran-pembakaran pada peristiwa Malari. Kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Soehartopun seperti menutup mata melihat kasus berdarah ini. Beliau malah menyalahkan para mahasiswa.
b.      Kasus Balibo 1975, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius. Agar dapat menghilangkan jejak,mayat pata wartawan asing ini harus dibakar habis. Mereka juga diberi pakaian Fretilin. Kasus ini dianggap sudah selesai oleh pemerintah dan tidak dibuka lagi.
c.       Kasus Kedung Ombo 1989, kasus Kedung Ombo merupakan borok sejarah pemerintah orde baru. Pemerintah membangun Kedung Ombo dari bantuan Bank Dunia. Sampai saat ini uang ganti rugi tanah masih belum diterima. Atau adapun warga yang dibayar sangat rendah untuk tanah yang tergusur. Kasus Kedung Ombo juga melibatkan kekerasan secara sistematis oleh aparat negara. Keterlibatan oknum bersenjata masa Orde Baru itu, harusnya menjadi kasus HAM hari ini. Warga Kedung Ombo masih mengalami trauma akibat baik itu represi secara fisik ataupun psikologis. Warga Kedung Ombo banyak yang mati ngenes.
d.      Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peristiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talangsari. Peristiwa Talangsari Lampung menjadi kisah tragis yang dilupakan negara. Ratusan orang yang saat itu menjadi korban seakan tidak berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, serta mendapatkan keadilan lewat penghukuman pelaku dan pemulihan hak-haknya.
e.       Kasus penyerbuan paksaan ABRI terhadap para pendukung PDI pro Megawati di kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro (27 Juli 1996). Penyerbuan itu dilakukan dalam upaya membungkam aksi-aksi yang digelar kubu Megawati. Tindakan kekerasan itu juga berakibat situasi chaos dibeberapa wilayah Ibukota, antara lain ditandai dengan pembakaran sejumlah gedung oleh masa. Menurut hasil investigasi Komnas HAM, 5 orang tewas, 149 menderita luka-luka dan 23 hilang dalam insiden berdarah itu (Lesmana,2009:65).
f.       Kerusuhan kelam Mei 1998. Banyak nyawa yang hilang dan darah berceceran. Namun belum ada titik terang dalam kasus ini hingga 13 tahun lebih era reformasi. Kasus ini dumulai dari aksi-aksi rakyat yang semula bermotifkan ekonomi dengan cepet berkembang menjadi aksi politik, yaitu menuntut pengunduran diri Soeharto. Pada 12 Mei 1998, pecah insiden berdarah Trisakti. Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas terkena tembakan senjata aparat keamanan di dalam kampus. Tragedi Trisakti inilah yang men-trigger “Kerusuhan Mei”, dan berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto. Dalam kerusuhan Mei, muncul pula 2 (dua) tokoh militer sentral: Jendral TNI Wiranto sebagai Menhankam/Pangab dan Letnan Jendral TNI Prabowo Subianto selaku Pangkostrad (yang sebelumnya menjabat Komandan Jendral Kopasus, pasukn elite TNI-AD). Sedangkan dalam laporan resmi Komnas HAM mengatakan kerusuhan 13-14 Mei memang dipicu oleh kelompok-kelompok terorganisasi (Lesmana,2009:117-122). Kasus ini tak akan terunggakap tanpa adanya kejujuran dari kedua tokoh militer tersebut.
Dari kasus-kasus diatas diketahui bahwa pada masa Orde Baru banyak terjadi kasus pelanggaran HAM. Dari kasus-kasus tersebut kebanyakan belum diketahui siapa pelaku dan dalang utama dalam kasus-kasus tersebut. Bahkan belum ada tindakan hukum bagi pelaku pelanggaran HAM di Orde Baru. Bahkan para korban yang masih hidup dan keluarga korban masih menunggu kejelasan hukum kasus tersebut yang nampaknya terlupakan oleh pemerintah
3.      Demokrasi Mati Suri
Demokrasi adalah sebuah bentuk kekuasaan dari/oleh/untuk rakyat. Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebaga warga negara. Masa Orde Baru merupakan masa yang suram bagi kehidupan demokrasi. Demokrasi yang diharapkan sejak awal orde baru tidak semakin bagus malah semakin melorot hingga terjun bebas. Demokrasi politik yang di idam-idamkan oleh rakyat Indonesia ketika awal pemerintahan Soeharto lama kelamaan mulai di kebiri. Dalam hal demokrasi berpendapat rakyat juga tidak mendapatkan. Kediktatoran yang terus menonjol pada masa ini hingga akhir orde baru.
Bagi orang-orang yang mengkritik pemerintah pastinya akan mendapatkan hadiah berupa kurungan penjara. Bagi pejabat pemerintahan yang mengkritik pemerintahan akan dikucilkan dari panggung politik. Begitu pula orang-orang yang tidak disukai Orde Baru akan menerima getahnya, terutama orang-orang dari Orde Lama. Seperti halnya yang dialami Sohario Padmodiwiryo yang akrab dipanggil Hario Kecik. Beliau dijadiakn tahanan politik oleh Orde Baru sejak kepulngan Hario Kecik dari Moskow pada 1977. Hario Kecik sempat bermukim di “kapal selam” yaitu sebutan untuk sel isolasi dalam rumah tahanan militer. Tahun 1981, Hario Kecik dibebaskan tanpa pengadilan bahwa dia bersalah atau tidak. Hario Kecik merupakan bagian dari Orde Lama yang pada Januari 1965 atas perintah dari Jendral A.Yani berangkat ke Moskow (Adam,2007:206-211). Sedangkan media masa yang melakukan kritikan keras akan dibredel. Seperti kasus majalah Tempo yang berakhir denagan bredel pada pertengahan 1994 karena eksposurnya yang kritis dan terus menerus sejak November 1992 terhadap kebijakan pemerintah Soeharto yang membeli 36 kapal perang eks Jerman Timur (Lesmana,2009:83).
Pemerintahan era ini sangat mengintervensi organisaai-organisasi sosial maupun paratai-partai politik. Pemerintah selalu memberikan pengawasan ketat terhadap pergerakan organisasi-organisasi tersebut. Bahkan pimpinan organisasi tersebut harus mendapat persetujuan dari pemerintah. Seperti kasus penghalangan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi ketua umum PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Megawati dianggap dapat memberiakan ancaman bagi kelangsungan kekuasaan Soeharto. Sehingga pemerintah memperalat Soerjadi ntuk menghadang Megawati di Kongres PDI yang berlangsung kacau di Medan maupun Musyawarah Nasional di Surabayayang berakhir deadlock. Mayor Jendral TNI AM Hendropriyono selaku Panglima Kodam Jaya dan Brigadir Jendral TNI Agum Gumelar, salah satu Direktur Badan Intelejen Strategis ABRI (BIA), kabarnya, “diterjunkan” oleh pimpinan ABRI untuk tugas dan tujuan yang sama, yaitu menjegal Megawati agar putri Bung Karno ini tidak menjadi pimpinan tertinggi PDI (Lesman,2009:101-103).
Di masa Orde Baru ada sebuah Undang-undang partai politik yang tidak memperbolehkan adanya partai lain selain tiga partai yang telah ditentukan oleh pemerintah. Di sini ada pembatasan jumlah partai, yaitu dua partai dan satu golongan karya. Partai yang berhaluan Islam dikumpulkan dalam sebuah wadah PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Sedangkan partai yang nasionalis dan lain-lainnya dikumpulkan dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Dan satu lagi organisasi yang pada awalnya tidak mau dianggap sebagai partai politik yaitu, Golongan Karya (Golkar). Golkar merupakan partai pemerintah yang memenagkan pemilu sejak 1971 hingga 1998. Partai yang berada diluar Golkar bisa dibilang hanya sebagai “penggembira” dalam demokrasi Orde Baru. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari sebutan bahwa pemerintahan Soeharto sebagai otoriter dan tidak demokratis. Untuk melanggengkan kekuasaan Golkar di pemerintahan, mereka melakukan berbagai politisasi dan pembodohan politik kepada rakyat.
Ketika terjadi pemilu pemerintahan Orde Baru juga sangat mengintervensi. Merekalah yang menentukan jalannya pemilu dan bagaiman hasil dari pemilu itu. Sebagai contoh pemilu terkahir Orde Baru ini berjalan sangat tertutup. Penyelenggaraan pemilu 100% ditangan pemerintah, dalm hal ini Departemen Dalam Negeri. Ketua Pelaksananya adalah Menteri Dalam Negeri, Rudini. Lembaga Pengawas bisa dibilang nol. Pada pemilu ini memang pengawas swasta mulai ikut meramaikan dengan mendirikan Komite Independen Pengawas Pemilu (KIPP), tapi mereka ini mendapat perlakuan yang tidak menyenagkan dari rezim Orde Baru. Hasil pemilu inipun menghasilkan wakil-wakil rakyat kelas arisan kampung (Rafick,2007:274-275).  
Pada rezim ini ada lima paket undang-undang politik anti demokrasi karya Soeharto bersama wakil-wakil rakyat yang telah dikebiri pada 1985. Kelima undang-undang itu ialah UU No. 1/1985 tentang Pemilu, Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No. 2/1985), Partai Poitik dan Golkar (UU No. 3/1985), Referendum (UU No. 5/1985), dan tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU No. 8/1985). Undang-undang tersebut ditujukan sebagai alat anti demokrasi yang sengaja dibuat pemerintah untuk mengebiri semua kekuatan sosial politik nasional. Sebagai contoh diambil dari Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan (UU No.8/1995). Pada tahun 1987 Gerakan Pemuda Marhein tidak dianggap ada keberadaannya oleh pemerintah dan kasus Pelajar islam Indonesia, yang telah berkiprah sejak 1947 pun tidak diakui keberadaannya, karena tidak mau merubah azas Islaminya dengan Pancasila (Rafick,2007:147-148). Terbukti dengan jelas bahwa Orde Baru telah menghalangi kebebasan dan pengartikulasian kepentingan kelompok atau individu
4.      Tidak Adanya Kebebasan Pers
Tidak bisa dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha mengatakan bahwa ada empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers. Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada setiap kebijakan.
Diawal kekuasaannya, rezim pemerintahan Orde Baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis rakyat yang baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat ketika itu kemudian dijadikan formula Orde Baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidakpastian dan pembangunan nasional akan semakin tertunda. Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan pembangunan nasional tersebut. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling berkait erat serta sebagai bagian doktrin negara.[6]
Oleh karena pemerintah menitikberatkan pembaruan pada pembangunan nasional, maka sektor demokrasi akhirnya terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa dilakukan oleh karena sepeninggalan Orde Lama tidak satupun kekuatan non negara yang bisa dijadikan acuan dan preferensi, serta seluruh yang tersisa mengidap kerentanan fungsi termasuk yang melanda pers nasional. Deskripsi-deskripsi yang sering kali ditulis oleh para pemerhati pers menyatakan bahwa kehidupan pers di awal-awal Orde Baru adalah sarat dengan muatan berbagai kepentingan, ketiadaan pers yang bebas, kehidupan pers yang ditekan dari segala penjuru untuk dikuasai negara, wartawan bisa dibeli serta pers yang bisa dibredel sewaktu-waktu.
Sehingga dapat digambarkan bahwa pada masa Orde Baru atau juga dikatakan pada era pembangunan, mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut menjadi boneka dari pemerintahan rezim Orde Baru di tanah air pada masa itu.
Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika beberapa media nasional yang sempat dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah.
Bagaimana tidak bahwa pada dasarnya bagi suatu pemerintahan diktator, kebenaran merupakan bahaya baginya, sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan manipulasinya. Berita-berita yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokratis atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi ketidakadilan secara besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi.
Banyak pers yang khawatir bahwa keberadaannya akan terancam di saat mereka tidak mengikuti sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers tidak jarang memilih jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang yang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Disamping itu, bentuk lain dari kekuasaan negara atas pers di tanah air pada era Orde Baru adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial. Sementara pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar[7] bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya terhadap lembaga pers.
Akan tetapi, sesungguhnya pada masa Orde Baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat Undang-Undang, dewan pers meiliki 7 fungsi yaitu :
a.     Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah    dan juga masyarakat.
b.     Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers.
c.     Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.
d.    Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
e.     Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah



PENYIMPANGAN PADA MASA REFORMASI

            Masa Reformasi di Indonesia dimulai pada runtuhnya rezim Orde Baru yaitu sejak tanggal 21 Mei 1998. Presiden pertama pada era reformasi adalah B.J. Habibie, presiden ke-3 RI. Masa Reformasi terus berlangsung hingga sekarang.
1.      Organisasi Gerakan Papua Merdeka
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah gerakan nasionalis yang didirikan tahun 1965 yang bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian barat dari pemerintahan Indonesia. Sebelum era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri atas Papua dan Papua Barat ini dipanggil dengan nama Irian Jaya.
OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia yang lain maupun negara-negara Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.
2.      Gerakan Aceh Merdeka
GAM pertama kali di deklarasi pada 4 Desember 1976. Gerakan ini mengusung nasionalisme Aceh secara jelas. Nasionalisme yang dibangun sebagai pembeda dengan nasionalisme Indonesia yang sebelumnya telah ada.
3.      Bukti adanya pelanggaran terhadap sila keempat pancasila
Ulah memalukan para wakil rakyat kita yang harusnya berjuang untuk rakyat. Sering kali para wakil rakyat mempertontonkan perilaku yg mencemaskan rakyat ketika menyelesaikan suatu masalah untuk kepentingan rakyat,perang mulut sampai adu jotos itu diperagakan di depan kamera. itulah yang di sebut kedewasaan di dalam demokrasi,kebebasan berekspresi dan berpendapat benar-benar di terapkan oleh anggotra DPR,karena memang DPR itu adalah sebagai Wakil rakyat. itu jelas-jelas menyimpang dari amanat rakyat.sama halnya dengan anggota DPR dan MPR yang rapat di senayan dalam pembentukan undang-undang ataupun rapat tahunan selalu banyak yang tidur. Dan biasanya keputusan yang diambil dewan perwakilan hanya menguntungkan bagi beberapa pihak saja dan tidak berpihak pada rakyat.
4.      Kemiskinan
Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Hal ini sebenarnya didasari oleh rendahnya kualitas SDM Karena latar belakang pendidikan yang masih tergolong rendah dan kualitas moral para pemimpin yang tidak baik. Maksudnya adalah ketidak merataan pembangunan dibeberapa daerah sehingga beberapa wilayah di Indonesia memiliki nilai kemiskinan yang rendah sedangkan daerah lainnya memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Jadi ini adalah bukti tidak adilnya pemerintah terhadap kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang menyebabkan kemiskinan.


5.      Ketimpangan dalam Pendidikan
Banyak anak usia sekolah harus putus sekolah karena biaya, mereka harus bekerja dan banyak yang menjadi anak jalanan. Walaupun sudah diberlakukannya beberapa program untuk mengurangi biaya sekolah atau bahkan membebaskan biaya sekolah  BOS (Biaya Operasional Sekolah) tapi kenyataannya pembagiannya masih belum merata diseluruh wilayah Indonesia dan masih banyak dipotong oleh pihak-pihak tertentu. Selain itu program sekolah gratis 9 tahun yang berlaku diwilayah DKI Jakarta juga belum bisa meratakan pendidikan di wilayah DKI Jakarta.
6.      Ketimpangan dalam Pelayanan Kesehatan
Keadilan dalam kesehatan masih belum dirasakan oleh masyarakat miskin Indonesia. Didalam hal ini maksudnya adalah belum dirasakan manfaat PJKMM (Program jaminan kesehatan masyarakat miskin) atau ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin) sehingga munculnya anggapan “orang miskin dilarang sakit” karena biaya berobat di Indonesia bisa dikatakan cukup tinggi dan hanya untuk kalangan menengah ke atas.




DAFTAR PUSTAKA
Makassar, koran. “5 Maret:1960: Pembubaran DPR Hasil Pemilu 1955 dan Pembentukan DPR-GR”. 02 Oktober 2016. http://koranmakassaronline.com/v2/5-maret-1960-pembubaran-dpr-hasil-pemilu-1955-dan-pembentukan-dpr-gr/
Indria, Adek. “Sistem Pemerintahan Indonesia Masa Orde Lama”. 02 Oktober 2016. http://sistempemerintahnegaraindonesia.blogspot.co.id/2015/08/sistem-pemerintahan-indonesia-masa-orde-lama.htm

You Might Also Like

1 komentar

  1. Yang masa reformasi kan ada OPM sama GAM di situ tertulis pada gerakan itu didirikan pada tahun 1965/76 ya, berati itu bukan masa reformasi dong. Kan era reformasi masi itu terjadi pada masa 1998

    BalasHapus