PENYIMPANGAN PANCASILA
(ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN
MASA REFORMASI)
Anggota
kelompok :
Nurul Lali Hidayati (081611233040)
Mata’ul
Khaqiqi (081611233020)
Devi
Ariyana (081611233028)
Awidin
Novictor (081611233031)
Dosen
Pembimbing : Drs. Ajar Triharso,
M.S
FAKULTAS SAINS dan TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2016
PENYIMPANGAN ORDE LAMA
Sistem pemerintahan Indonesia pada masa orde lama
yaitu periode pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1945 sampai tahun 1968.
Pada orde ini, sistem pemerintahan Indonesia mengalami beberapa peralihan.
Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial, parlementer,
demokrasi liberal dan sistem pemerintantahan demokrasi terpimpim. Pada masa
pemerintahan pasca kemerdekaan (1945-1950) ini, terjadi perubahan sistem
pemerintahan dari parlementer menjadi presidensil. Dimana dalam sistem
pemerintahan presidensil, memiliki fungsi ganda yakni sebgai badan eksekutif
dan merangkap sebagai badan legislatif. Dasar hukum pelaksanaan demokrasi ini
ditetapkan dalam sidang umum ke-3 MPRS tahun 1965, dengan ketetapan MPRS
No.VIII/MPRS/1965. Pada kekuasaan presidensil ini, kekuasaan presiden menjadi tidak
terbatas, maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan dalam pengambilan keputusan
di pemerintahan Indonesia. Berikut ini bukti kegagalan pada Sistem Pemerintahan
Orde lama,
1.
Pembubaran DPR hasil pemilu 1955 oleh
Presiden
Pada
tahun 1960 presiden membubarkan hasil pemilu karena DPR menolak Rencana
Anggaran Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah. Akhirnya Presiden
membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Seluruh anggotan DPRGR
ini ditunjuk oleh Presiden mewakili golongan masing-masing. Anggota DPR-GR ini
dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Dalam upacara pelantikan tersebut, Soekarno
menyatakan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan manipol, merealisasikan
amanat penderitaan rakyat dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Pada upacara
pelantikan wakil-wakil DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, Presiden Soekarno
menjelaskan kedudukan DPR-GR. DPR-GR adalah pembantu presiden/mandataris MPRS
dan memberi sumbangan tenaga kepada presiden untuk melakukan segala sesuatu
yang ditetapkan oleh MPRS. DPR yang demikian, pada hakikatnya adalah DPR yang
hanya mengiyakan saja sehingga tidak menjadi soko guru negara hukum dan
demokarasi yang sehat.
Oleh
karena itu, pembubaran DPR hasil pemilu 1955 merupakan menyelewengan karena
dalam penjelasan UUD ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk
membubarkan DPR.
2.
MPRS mengangkat ir.Soekarno sebagai presiden
seumur hidup
Pada
tahun 1957, Presiden Soekarno mencanangkan kebijakan politik pembebasan Irian
Barat setelah selalu gagal dalam upaya diplomatik di sidang PBB. Kebijakan
politik itu sangat menentukan arah negara dan bangsa Indonesia ke depan sebab
Indonesia telah bersikap lebih tegas terhadap Belanda karena masalah Irian
Barat yang digantung dalam rapat KMB. Indonesia-pun membatalkan keputusan KMB,
bahkan Indonesia-pun berani menasionalkan perusahaan-perusahaan Belanda di
Indoonesia.
Langkah
politik Soekarni itu memperoleh dukungan dari seluruh eksponen bangsa, termasuk
PKI yang merasa sejalan dengan strategi politiknya terhadap kapitalis dan
imperialisme internasional. Tetapi PKI harus menelan rasa kekecewaan karena
Soekarno lebih menitik beratkan pada operasi militer, sehingga Presiden lebih
sering berhubungan dengan pimpinan TNI. Sehingga sejak saat itu PKI berupaya
untuk merebut kekuasaan Indonesia dan mengikuti pemilu. Karena banyak pihak
yang cemas bila PKI memenangi pemilu maka, muncul lah ketetapan MPRS No.
II/MPRS/1963 tanggal 18 Mei 1963 tentang pengangakat Soekarno sebagai Presiden
seumur hidup. Namun, kesepakatan ini banyak memberi dampak negatif maka
dicabutlah Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1963 oleh MPRS, PKI dinyatakan sebagi
organisasi terlarang dan MPRS menolak laporan pertanggungjawaban Presiden
Soekarno yang berjul Nawaksara dan Presden Soekarno dikenai tahanan kota oleh
Kopkamtib.
3.
Penyimpangan ideologis, konsepsi
Pancasila berubah menjadi NASAKOM (nasionalis, agama, komunis)
Pada
masa demokrasi terpimping pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan
pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menyampaikan ajaran
NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis). Tujuannya untuk menggalang persatuan
bangsa. Selain NASAKOM pemerintah juga membentuk RESOPIM (Revolusi, Sosialisme
Indonesia dan Pimpinan Nasional. RESOPIM untuk memperkuat kedudukan Presiden
Soekarno. Ajaran RESOPIM diumumkan pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI
ke-16
4.
Kaburnya politik luar negeri yang bebas
aktif menjadi "politik poros-porosan" (mengakibatkan indonesia keluar
dari PBB)
Lanadasan
operasional dari politik luar negeri indonesia yang bebas aktif sebagaian besar
dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno, yang tertuang
pada Maklumat Politik pemerintah tanggal 1 November 1945, yang diantaranya
memuat hal-hal sebagai berikut:
1. Politik
damain dan hidup berdampingan secara damai;
2. politik
tidak campur tangan dalam negeri negara lain;
3. politik
bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara dibidang ekonomi, politk dan
lain-lain;
4. politik
berdasarkan piangam PBB
Politik
di dunia dibagi menjadi 2 bagian yaitu Oldefo dan Nefo. NEFO (New Emerging
Forces) merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara
progresif revolusioner yang anti imperialisme dan kolonialisme sedangkan OLDEFO
(Old Establishes Forces) merupakan kekuatan lama yang telah mapan yaitu
negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Untuk
mewujudkan NEFO maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang.
Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab
hanya berpedoman ke negara-negara komunis.
Selain
OLDEFO dan NEFO, Indonesia juga mengadakan Politik Konfrotasi Malaysia karena
pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara Federasi Malaysia yang
dianggap membahayakan Indonesia. Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar
dari PBB sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB.
Karena
merasa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi NEFO di
seluruh dunia makan pemerintahan Indonesia mendirikan Politik Mercusuar. Untuk
mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuek yang
diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kalangan yang terkemuka di NEFO.
Proyek tersebut menghabiskan banyak biaaya dalam pencapaiannya. Perwujudan dari
dari proyek-proyek tersebut diselenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces). Pendirian kompleks Olahraga
Senanyang serta Monas (Monumen Nasional).
Pemeritah
Indonesia juga mendirikan Politik Gerakan Non-Blok (GNB). GNB ini merupakan
gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak
dipengaruhi oleh Blok Barat dan Blok Timur. Selanjutnya, gerakan ini memusatkan
pada kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan perang
dingin. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan
kemanuasian.
PENYIMPANGAN ORDE BARU
Di masa Orde Baru yang paling dikenal ialah penuh dengan kediktatoran dari
pemerintahan. Pemerintahan masa itu kebanyakan melakukan kebohongan- kebohongan
publik untuk menutupi kelemahan dan kegagalan mereka. Pemerintah juga
menghalalkan berbagai cara untuk mempertahAnkan kekuasaan mereka. Mulai dari
pemenjaraan para musuh mereka sampai penghilangan nyawa pada siapa saja yang
menentang kebijakan pemerintah. Banyak terjadi KKN dimana-mana, pelanggaran HAM
dilegalkan, dan pembekuan demokrasi impian rakyat yang kesemua itu merupakan
kejadian yang sangat memperihatinkan dalam perkembangan tatanan hidup
Indonesia.
Orde Baru
merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat,
bangsa, dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD
1945, atau sebagai koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi
pada masa demokrasi terpimpin atau orde lama. Namun tujuan untuk memperbaiki
tatanan pada masa lalu dan kembali pada Pancasila dan UUD 1945 hanya retorika
semata agar penguasa baru saat itu Soeharto mendapat dukungan dari rakyat. Pada
awal-awal pemerintahan berjalan secara wajar, tapi selanjutnya pemerintahan
berjalan dengan lebih menonjolkan kediktatorannya yang tak jauh beda dengan
masa Orde Lama. Orde Lama pun tak seburuk apa yang telah dilakukan waktu itu.
Orde Baru merupakan masa pemerintahan paling kejam di Indonesia setelah masa
kemerdekaan dengan Soeharto sebagai nahkodanya.
Satu-satunya
masa pemerintahan yang dalam sejarah Indonesia paling lama memimpin Indonesia
ialah Orde Baru, yang memimpin Indonesia kurang lebih 32 tahun. Pemerintahan
selama itu tentunya ada hal positif serta negatifnya. Dalam kurun waktu lama
itu Orde Baru lebih banyak mencatatkan sejarah buruk dalam perjalanan Indonesia
merdeka. Dari kasus KKN yang terjadi dimana-mana serta melibatkan orang-orang
terdekat penguasa. Pelanggaran HAM dilakukan tanpa ada tindakan tegas dari
pemerintah untuk mengusut bahkan terkesan membiarkan hal tersebut terjadi berulag-ulang.
Demokrasi yang di idam-idamkan rakyat ditutup dengan rapat, diganti demokrasi
terpusat yang diktator.
Berikut adalah berbagai contoh
penyimpangan yang terjadi di era orde baru:
1.
KKN Merajalela
KKN terjadi di setiap lini pemerintahan.
Soeharto pun sebabagai presiden RI tak berdaya melihat situasi ini dan
terkesan melegalkan KKN yang terjadi atas sepengetahuannya. Dalam berbagai
kasuspun Soeharto di indikasiakn terlibat dalam kasus tersebut. Kejahatan
kemanusian yang terselubung itu selalu menguntungkan anak-cucunya, kerabat
dekat Soeharto, orang-orang terdekat Soeharto, dan para konglomerat yang dekat
dengan sang presiden. Berikut ini beberapa paparan kasus KKN pada masa orde
baru:
a.
Kasus ini diduga melibatkan orang dekat
keluarga Cendana. Pada akhir 1995, CEPA Internasional berhasil memenangi tender
Proyek Listrik Tanjung Jati B senilai US$ 1,77 miliar dan kemudian juga
memenangi tender Proyek Listrik Tanjung Jati C dengan cara agak
akrobatik. Pada saat memenangi tender anggota konsorsiumnya adalah CEPA
Hongkong dan PT International Manufacturing Producer Association (Impa)
Energy-milik pelobi ulung Djan Faridz yang dikenal dekat dengan Mbak Tutut
(Siti Hadijanti Rukmana) (Rafick,2007:140). Kedekatan Djan Faridz dengan salah
satu putri Soeharto dimungkinkan akan mempermudah dia memperoleh proyrek-proyek
dari pemerintah.
b.
Sebuah proyek air bersih raksasa Umbulan
berkapasitas 4 ribu liter/detik yang ditenderkan sejak 1986 namun
terkatung-katung hingga 10 tahun lebih karena soal tarif, akhirnya dapat diperoleh
pemenangnya. Diluar dugaan konsorsium Tommy Soeharto (Hutomo Mandala Putra) -
raja properti Ciputra berhasil mendapatkan proyek ini. Padahal tarif yang
diajukan Rp 888/m3 dan konsensi 25 tahun, jauh diatas tawaran Grup Citra
Lamtorogung Persada (CLP) yang meminta konssi 15 tahun, dengan pola BOT (Build
Operete & Transfer) mengajukan harga Rp 630/m3 yang dulu ditolak. Padahal
PDAM menetapkan angka Rp 618/m3, namun menurut pemerintah mengatakan secara
rasional penghitungan konsorsium Tommy memang masuk akal (Rafick,2007:148).
Dalam kasus ini dimungkinkan ada KKN dalam proses tendernya. Dikarenakan nilai
proyek yang disepakati kedua belah pihak tidaklah rasional.
c.
Pada 1996, BUMN PT Kertas Leces
mengalihkan garapannya dari memproduksi kertas koran ke produksi kertas HVS.
Padahal kertas koran memiliki pangsa pasar dan pertumbuhan pasar yang jauh
lebuh besar dibanding kertas HVS. Setelah Leces meninggalkan lapangan, Aspex
Paper milik Bob Hasan yang notabene orang dekat Soeharto mengambil alih
tempatnya, sehingga 80% kebutuhan dalam negeri akan kertas koran kemudian
dipenuhi Aspex. Banyak kalangan menduga Leces sengaja mengalihkan bidang
garapannya ke HVS, bila tak mau disebut dipaksa, untuk memeberi jalan kepada
Aspex menguasai pasar kertas koran (Rafick,2007:153). Peran pemerintah dalam
alih jenis produksi Leces dimungkinkan sangat besar. Hal ini karena Bob Hasan
memeiliki hubungan baik dengan Soeharto.
d.
Penyalahgunaan Dana Reboisasi (DR) untuk
kegiatan di luar reboisasi diperkirakan di atas 2 triliun. Separuh digunakan
pengusaha di luar sektor kehutanan. Setengahnya lagi dipakai mendanai proyek
Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp dan non pulp, termasuk HTI trans. Semuanya
berdasarkan Keppres. Dana sebanyak itu tidak semuanya berasal dari DR. Sebagian
besar berasal dari bunga jasa giro. Salah satu pengeluaran dana DR diberikan
sebesar Rp 250 miliar untuk PT Kiani Kertas (Pabrik Kertasn dan pulp) milik Bob
Hasan (Rafick,2007:160). Bau KKN sangat terasa dalam kasus ini. Mungkin ini
salah satu bagian terkecil penyelewengan keuangan negara yang dimanfaatkan oleh
keluarga dan kroni-kroni Soeharto.
e.
Adanya skandal Bapindo (Bank Pembangunan
Indonesia) tahun 1993. Yaitu dengan kredit sebesar Rp 1,3 triliun yang
dikucurkan kepada seorang pengusaha bernama Eddy Tansil, adik kandung Hendra
Rahadrja (pemilik Bank Harapan Sentosa yang sudah collapse). Kasus ini sangat
menghebohkan karena menyeret sejumlah pejabat tinggi, termasuk Sudomo (orang
kepercayaan Soeharto) yang pernah menjadi Kopkamtib (Lesmana,2009:58). Sudomo
sebagai orang terdekat Soharto tidak akan mungkin terseret dalam kasus
tersebut. Hal itulah ciri khas hukum ala Soeharto, orang-orang terdekatnya
pasti akan aman.
Dari kasus-kasus yang telah diuraikan tadi nampak
jelas bahwa masa Orde Baru sangat buruk dalam sistem pemerintahannya. Presiden
Soharto nampaknya telah merestui adanya KKN tersebut. Ini dibuktikan dengan
makin merajalelanya KKN dari tahun ketahun di masa Orde Baru. Walaupun ada
upaya pemberantasan KKN, tapi koruptor-koruptor yang dekat dengan kekuasaan tampaknya
tak pernah disentuh sama sekali.
2.
Pelanggaran HAM
Pada masa orde baru pelanggaran HAM sepertinya menjadi hal yang legal
dengan enggannya pemerintah mengusut kasus-kasus yang terindikasi terjadi
pelanggaran HAM yang melibatkan pemerintah. Setiap ada suatu permasalahan,
pemerintah dan ABRI dalam penyelesaianya selalu menggunakan kekerasan.
Hal itu terjadi berulang-ulang dan tidak ada yang dapat menghentikannya. Hal
ini diperparah dengan enggennya Presiden Soeharto menjabut UU anti-subversi yang
telah di usulkan Komnas HAM. Berikut merupakan kasu-kasus pelanggaran HAM
masa Orde Baru yang masih menjadi misteri:
a.
Penahanan sejumlah mahasiswa dan
masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh
pembakaran-pembakaran pada peristiwa Malari. Kasus
15 Januari 1974 yang lebih dikenal “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11
orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187
sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang
dari sejumlah toko perhiasan. Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai
perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal
asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai
ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden
Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki
kekuasaan teramat besar. Soehartopun seperti menutup mata melihat kasus
berdarah ini. Beliau malah menyalahkan para mahasiswa.
b.
Kasus Balibo 1975, terbunuhnya lima
wartawan asing secara misterius. Agar dapat menghilangkan jejak,mayat pata
wartawan asing ini harus dibakar habis. Mereka juga diberi pakaian Fretilin.
Kasus ini dianggap sudah selesai oleh pemerintah dan tidak dibuka lagi.
c.
Kasus Kedung Ombo 1989, kasus Kedung
Ombo merupakan borok sejarah pemerintah orde baru. Pemerintah membangun Kedung
Ombo dari bantuan Bank Dunia. Sampai saat ini uang ganti rugi tanah masih belum
diterima. Atau adapun warga yang dibayar sangat rendah untuk tanah yang
tergusur. Kasus Kedung Ombo juga melibatkan kekerasan secara sistematis oleh
aparat negara. Keterlibatan oknum bersenjata masa Orde Baru itu, harusnya
menjadi kasus HAM hari ini. Warga Kedung Ombo masih mengalami trauma akibat
baik itu represi secara fisik ataupun psikologis. Warga Kedung Ombo banyak yang
mati ngenes.
d.
Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas
oleh ABRI. Peristiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa
Talangsari. Peristiwa Talangsari Lampung menjadi kisah tragis yang
dilupakan negara. Ratusan orang yang saat itu menjadi korban seakan tidak
berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, serta mendapatkan keadilan lewat
penghukuman pelaku dan pemulihan hak-haknya.
e.
Kasus penyerbuan paksaan ABRI terhadap
para pendukung PDI pro Megawati di kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro (27 Juli
1996). Penyerbuan itu dilakukan dalam upaya membungkam aksi-aksi yang digelar
kubu Megawati. Tindakan kekerasan itu juga berakibat situasi chaos dibeberapa
wilayah Ibukota, antara lain ditandai dengan pembakaran sejumlah gedung oleh
masa. Menurut hasil investigasi Komnas HAM, 5 orang tewas, 149 menderita
luka-luka dan 23 hilang dalam insiden berdarah itu (Lesmana,2009:65).
f.
Kerusuhan kelam Mei 1998. Banyak nyawa
yang hilang dan darah berceceran. Namun belum ada titik terang dalam kasus ini
hingga 13 tahun lebih era reformasi. Kasus ini dumulai dari aksi-aksi rakyat
yang semula bermotifkan ekonomi dengan cepet berkembang menjadi aksi politik,
yaitu menuntut pengunduran diri Soeharto. Pada 12 Mei 1998, pecah insiden berdarah
Trisakti. Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas terkena tembakan senjata
aparat keamanan di dalam kampus. Tragedi Trisakti inilah yang men-trigger
“Kerusuhan Mei”, dan berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto. Dalam
kerusuhan Mei, muncul pula 2 (dua) tokoh militer sentral: Jendral TNI Wiranto
sebagai Menhankam/Pangab dan Letnan Jendral TNI Prabowo Subianto selaku
Pangkostrad (yang sebelumnya menjabat Komandan Jendral Kopasus, pasukn elite
TNI-AD). Sedangkan dalam laporan resmi Komnas HAM mengatakan kerusuhan 13-14
Mei memang dipicu oleh kelompok-kelompok terorganisasi (Lesmana,2009:117-122).
Kasus ini tak akan terunggakap tanpa adanya kejujuran dari kedua tokoh militer
tersebut.
Dari kasus-kasus diatas diketahui bahwa pada masa Orde
Baru banyak terjadi kasus pelanggaran HAM. Dari kasus-kasus tersebut kebanyakan
belum diketahui siapa pelaku dan dalang utama dalam kasus-kasus tersebut.
Bahkan belum ada tindakan hukum bagi pelaku pelanggaran HAM di Orde Baru.
Bahkan para korban yang masih hidup dan keluarga korban masih menunggu
kejelasan hukum kasus tersebut yang nampaknya terlupakan oleh pemerintah
3.
Demokrasi Mati Suri
Demokrasi adalah sebuah bentuk kekuasaan
dari/oleh/untuk rakyat. Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti
politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat
didefinisikan sebaga warga negara. Masa Orde Baru merupakan masa yang suram
bagi kehidupan demokrasi. Demokrasi yang diharapkan sejak awal orde baru tidak
semakin bagus malah semakin melorot hingga terjun bebas. Demokrasi politik yang
di idam-idamkan oleh rakyat Indonesia ketika awal pemerintahan Soeharto lama
kelamaan mulai di kebiri. Dalam hal demokrasi berpendapat rakyat juga tidak
mendapatkan. Kediktatoran yang terus menonjol pada masa ini hingga akhir orde
baru.
Bagi orang-orang yang mengkritik
pemerintah pastinya akan mendapatkan hadiah berupa kurungan penjara. Bagi
pejabat pemerintahan yang mengkritik pemerintahan akan dikucilkan dari panggung
politik. Begitu pula orang-orang yang tidak disukai Orde Baru akan menerima
getahnya, terutama orang-orang dari Orde Lama. Seperti halnya yang dialami
Sohario Padmodiwiryo yang akrab dipanggil Hario Kecik. Beliau dijadiakn tahanan
politik oleh Orde Baru sejak kepulngan Hario Kecik dari Moskow pada 1977. Hario
Kecik sempat bermukim di “kapal selam” yaitu sebutan untuk sel isolasi dalam
rumah tahanan militer. Tahun 1981, Hario Kecik dibebaskan tanpa pengadilan
bahwa dia bersalah atau tidak. Hario Kecik merupakan bagian dari Orde Lama yang
pada Januari 1965 atas perintah dari Jendral A.Yani berangkat ke Moskow
(Adam,2007:206-211). Sedangkan media masa yang melakukan kritikan keras akan
dibredel. Seperti kasus majalah Tempo yang berakhir denagan bredel pada
pertengahan 1994 karena eksposurnya yang kritis dan terus menerus sejak
November 1992 terhadap kebijakan pemerintah Soeharto yang membeli 36 kapal
perang eks Jerman Timur (Lesmana,2009:83).
Pemerintahan era ini sangat
mengintervensi organisaai-organisasi sosial maupun paratai-partai politik.
Pemerintah selalu memberikan pengawasan ketat terhadap pergerakan
organisasi-organisasi tersebut. Bahkan pimpinan organisasi tersebut harus
mendapat persetujuan dari pemerintah. Seperti kasus penghalangan Megawati
Soekarnoputri untuk menjadi ketua umum PDI (Partai Demokrasi Indonesia).
Megawati dianggap dapat memberiakan ancaman bagi kelangsungan kekuasaan
Soeharto. Sehingga pemerintah memperalat Soerjadi ntuk menghadang Megawati di
Kongres PDI yang berlangsung kacau di Medan maupun Musyawarah Nasional di
Surabayayang berakhir deadlock. Mayor Jendral TNI AM Hendropriyono selaku
Panglima Kodam Jaya dan Brigadir Jendral TNI Agum Gumelar, salah satu Direktur
Badan Intelejen Strategis ABRI (BIA), kabarnya, “diterjunkan” oleh pimpinan
ABRI untuk tugas dan tujuan yang sama, yaitu menjegal Megawati agar putri Bung
Karno ini tidak menjadi pimpinan tertinggi PDI (Lesman,2009:101-103).
Di masa Orde Baru ada
sebuah Undang-undang partai politik yang tidak memperbolehkan adanya partai
lain selain tiga partai yang telah ditentukan oleh pemerintah. Di sini ada pembatasan jumlah partai, yaitu dua partai
dan satu golongan karya. Partai yang berhaluan Islam dikumpulkan dalam
sebuah wadah PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Sedangkan partai yang
nasionalis dan lain-lainnya dikumpulkan dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia).
Dan satu lagi organisasi yang pada awalnya tidak mau dianggap sebagai
partai politik yaitu, Golongan Karya (Golkar). Golkar merupakan partai
pemerintah yang memenagkan pemilu sejak 1971 hingga 1998. Partai yang berada
diluar Golkar bisa dibilang hanya sebagai “penggembira” dalam demokrasi Orde
Baru. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari sebutan bahwa pemerintahan
Soeharto sebagai otoriter dan tidak demokratis. Untuk melanggengkan kekuasaan
Golkar di pemerintahan, mereka melakukan berbagai politisasi dan pembodohan
politik kepada rakyat.
Ketika terjadi pemilu
pemerintahan Orde Baru juga sangat mengintervensi. Merekalah yang menentukan
jalannya pemilu dan bagaiman hasil dari pemilu itu. Sebagai contoh pemilu
terkahir Orde Baru ini berjalan sangat tertutup. Penyelenggaraan pemilu 100%
ditangan pemerintah, dalm hal ini Departemen Dalam Negeri. Ketua Pelaksananya
adalah Menteri Dalam Negeri, Rudini. Lembaga Pengawas bisa dibilang nol. Pada
pemilu ini memang pengawas swasta mulai ikut meramaikan dengan mendirikan
Komite Independen Pengawas Pemilu (KIPP), tapi mereka ini mendapat perlakuan
yang tidak menyenagkan dari rezim Orde Baru. Hasil pemilu inipun menghasilkan
wakil-wakil rakyat kelas arisan kampung (Rafick,2007:274-275).
Pada rezim ini ada lima paket undang-undang politik anti demokrasi karya
Soeharto bersama wakil-wakil rakyat yang telah dikebiri pada 1985. Kelima
undang-undang itu ialah UU No. 1/1985 tentang Pemilu, Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD (UU No. 2/1985), Partai Poitik dan Golkar (UU No. 3/1985),
Referendum (UU No. 5/1985), dan tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU No.
8/1985). Undang-undang tersebut ditujukan sebagai alat anti demokrasi yang
sengaja dibuat pemerintah untuk mengebiri semua kekuatan sosial politik
nasional. Sebagai contoh diambil dari Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan
(UU No.8/1995). Pada tahun 1987 Gerakan Pemuda Marhein tidak dianggap ada
keberadaannya oleh pemerintah dan kasus Pelajar islam Indonesia, yang telah
berkiprah sejak 1947 pun tidak diakui keberadaannya, karena tidak mau merubah
azas Islaminya dengan Pancasila (Rafick,2007:147-148). Terbukti dengan jelas
bahwa Orde Baru telah menghalangi kebebasan dan pengartikulasian kepentingan
kelompok atau individu
4.
Tidak Adanya Kebebasan Pers
Tidak bisa
dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa
pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke
pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang
tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha mengatakan bahwa ada empat pilar
pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers.
Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada
setiap kebijakan.
Diawal
kekuasaannya, rezim pemerintahan Orde Baru menghadapi Indonesia yang traumatis.
Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta
psikologis rakyat yang baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat
ketika itu kemudian dijadikan formula Orde Baru, yakni pemulihan atau
normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian
berlarut-larut dalam ketidakpastian dan pembangunan nasional akan semakin
tertunda. Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh
sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan
pembangunan nasional tersebut. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi
pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai
kata kunci yang saling berkait erat serta sebagai bagian doktrin negara.[6]
Oleh karena
pemerintah menitikberatkan pembaruan pada pembangunan nasional, maka sektor
demokrasi akhirnya terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa dilakukan oleh karena
sepeninggalan Orde Lama tidak satupun kekuatan non negara yang bisa dijadikan
acuan dan preferensi, serta seluruh yang tersisa mengidap kerentanan fungsi
termasuk yang melanda pers nasional. Deskripsi-deskripsi yang sering kali
ditulis oleh para pemerhati pers menyatakan bahwa kehidupan pers di awal-awal
Orde Baru adalah sarat dengan muatan berbagai kepentingan, ketiadaan pers yang
bebas, kehidupan pers yang ditekan dari segala penjuru untuk dikuasai negara,
wartawan bisa dibeli serta pers yang bisa dibredel sewaktu-waktu.
Sehingga dapat
digambarkan bahwa pada masa Orde Baru atau juga dikatakan pada era pembangunan,
mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers
sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah
juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)
tidak membawa perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi itu. Yang
ada justru PWI dijadikan media yang turut menjadi boneka dari pemerintahan
rezim Orde Baru di tanah air pada masa itu.
Hal tersebut
terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang
sempat nyaring bunyinya. Ketika beberapa media nasional yang sempat dibredel
oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat
memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula
justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang
bersuara nyaring terhadap pemerintah.
Bagaimana tidak
bahwa pada dasarnya bagi suatu pemerintahan diktator, kebenaran merupakan
bahaya baginya, sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan manipulasinya.
Berita-berita yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya
memang memiliki daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat
yang demokratis atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi
demokratis adalah melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan
dalam suatu situasi ketidakadilan secara besar-besaran dan pembagian yang
terpolarisasi.
Banyak pers yang
khawatir bahwa keberadaannya akan terancam di saat mereka tidak mengikuti
sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers
tidak jarang memilih jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu
terpaksa harus bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan
kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang yang pada
umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik
nasional sebagai acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Disamping itu,
bentuk lain dari kekuasaan negara atas pers di tanah air pada era Orde Baru
adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru
sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak
menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di
media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang
obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada
diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun
sosial. Sementara pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali
hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar[7] bahwa
kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik
menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi
dan represi negara. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar tentang
sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya terhadap lembaga pers.
Akan tetapi,
sesungguhnya pada masa Orde Baru terdapat lembaga yang menaungi pers di
Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999,
dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya
untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Berdasarkan amanat Undang-Undang, dewan pers meiliki 7 fungsi yaitu :
a.
Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat.
b.
Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers.
c.
Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.
d.
Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat
atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
e.
Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah
PENYIMPANGAN PADA MASA REFORMASI
Masa Reformasi di Indonesia dimulai
pada runtuhnya rezim Orde Baru yaitu sejak tanggal 21 Mei 1998. Presiden
pertama pada era reformasi adalah B.J. Habibie, presiden ke-3 RI. Masa
Reformasi terus berlangsung hingga sekarang.
1.
Organisasi Gerakan Papua Merdeka
Organisasi
Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah gerakan nasionalis yang didirikan tahun 1965
yang bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian barat dari
pemerintahan Indonesia. Sebelum era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri
atas Papua dan Papua Barat ini dipanggil dengan nama Irian Jaya.
OPM
merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia
yang lain maupun negara-negara Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam
NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia
dimana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya
kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM
dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.
2. Gerakan Aceh Merdeka
GAM pertama
kali di deklarasi pada 4 Desember 1976. Gerakan ini mengusung nasionalisme Aceh
secara jelas. Nasionalisme yang dibangun sebagai pembeda dengan nasionalisme
Indonesia yang sebelumnya telah ada.
3.
Bukti
adanya pelanggaran terhadap sila keempat pancasila
Ulah
memalukan para wakil rakyat kita yang harusnya berjuang untuk rakyat. Sering
kali para wakil rakyat mempertontonkan perilaku yg mencemaskan rakyat ketika
menyelesaikan suatu masalah untuk kepentingan rakyat,perang mulut sampai adu
jotos itu diperagakan di depan kamera. itulah yang di sebut kedewasaan di dalam
demokrasi,kebebasan berekspresi dan berpendapat benar-benar di terapkan oleh
anggotra DPR,karena memang DPR itu adalah sebagai Wakil rakyat. itu jelas-jelas
menyimpang dari amanat rakyat.sama halnya dengan anggota DPR dan MPR yang rapat
di senayan dalam pembentukan undang-undang ataupun rapat tahunan selalu banyak
yang tidur. Dan biasanya keputusan yang diambil dewan perwakilan hanya
menguntungkan bagi beberapa pihak saja dan tidak berpihak pada rakyat.
4. Kemiskinan
Indonesia
adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya
melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Hal ini
sebenarnya didasari oleh rendahnya kualitas SDM Karena latar belakang pendidikan
yang masih tergolong rendah dan kualitas moral para pemimpin yang tidak baik.
Maksudnya adalah ketidak merataan pembangunan dibeberapa daerah sehingga
beberapa wilayah di Indonesia memiliki nilai kemiskinan yang rendah sedangkan
daerah lainnya memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Jadi ini adalah bukti
tidak adilnya pemerintah terhadap kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang
menyebabkan kemiskinan.
5. Ketimpangan dalam Pendidikan
Banyak
anak usia sekolah harus putus sekolah karena biaya, mereka harus bekerja dan
banyak yang menjadi anak jalanan. Walaupun sudah diberlakukannya beberapa
program untuk mengurangi biaya sekolah atau bahkan membebaskan biaya
sekolah BOS (Biaya Operasional Sekolah) tapi kenyataannya pembagiannya
masih belum merata diseluruh wilayah Indonesia dan masih banyak dipotong oleh
pihak-pihak tertentu. Selain itu program sekolah gratis 9 tahun yang berlaku
diwilayah DKI Jakarta juga belum bisa meratakan pendidikan di wilayah DKI
Jakarta.
6. Ketimpangan dalam Pelayanan
Kesehatan
Keadilan
dalam kesehatan masih belum dirasakan oleh masyarakat miskin Indonesia. Didalam
hal ini maksudnya adalah belum dirasakan manfaat PJKMM (Program jaminan
kesehatan masyarakat miskin) atau ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Masyarakat
Miskin) sehingga munculnya anggapan “orang miskin dilarang sakit” karena biaya
berobat di Indonesia bisa dikatakan cukup tinggi dan hanya untuk kalangan
menengah ke atas.
DAFTAR PUSTAKA
Makassar, koran.
“5 Maret:1960: Pembubaran DPR Hasil Pemilu 1955 dan Pembentukan DPR-GR”. 02
Oktober 2016. http://koranmakassaronline.com/v2/5-maret-1960-pembubaran-dpr-hasil-pemilu-1955-dan-pembentukan-dpr-gr/
Indria, Adek. “Sistem Pemerintahan Indonesia
Masa Orde Lama”. 02 Oktober 2016. http://sistempemerintahnegaraindonesia.blogspot.co.id/2015/08/sistem-pemerintahan-indonesia-masa-orde-lama.htm